Pages

February 20, 2010

think, pray, choose

I hate to choose, but life's most beneficial position is when one is able to choose his/her own destiny, before being chosen by fate

Memilih. Pilihan. Opsi. Gue baru saja berhadapan dengan oknum-oknum ini, dan sungguh mereka lawan yang menyebalkan. Selamat tinggal dunia damai tenang dan minim beban pikiran, mungkin itu kalimat yang pantas diucapkan saat konfrontasi dengan mereka. Lalu ditengah panik akan arus kehidupan yang berubah total, gue dihadapkan pada realita pahit: sometimes you can't have it all. Yang paling menyebalkan, mereka nyaris sukses mengganggu ritme circadian gue, yang memang sudah kalong dan makin rusak dihantam ujian semester kemarin. Jadi, general condition: sudah insomnia. Precipitating factor: harus segera membuat keputusan yang mau tidak mau memaksa kawanan sinaps di otak untuk aktif. Final diagnosis: insomnia superimposed by psychological stress due to huge decision making.

Gue dihadapkan pada 2 pilihan. Well, sebenarnya 2 pilihan ini masih bisa dimodifikasi. But let me just give you the big picture, pilih antara kedua ini: 
  1. Sesuatu yang belum terlalu gue sayangi, tapi sudah ada didepan mata, sudah pasti, sudah gue genggam dengan porsi tanggung jawab cukup besar, dan mulai gue nikmati, atau
  2. Sesuatu yang belum pasti, (orang bilang) penuh risiko untuk berhenti ditengah jika gue tidak kuat mental, tapi sudah lama gue nantikan, selama itu pula gue merelakan banyak hal demi menyambutnya, dan ia akan datang dalam waktu dekat ini.
Orang tua gue pernah bilang, posisi paling menguntungkan dalam hidup adalah saat kamu bisa memilih keadaan, bukan dipilih oleh keadaan, maka posisikanlah diri kamu sebagai pemilih. Jadi, seharusnya gue bersyukur dengan posisi ini. Untuk itu, alhamdulillah :)
Nomor 1, nyaman sudah gue dengan dia, semua seperti sudah menjanjikan, dia penuh dengan orang-orang yang gue percaya dan sayangi. No. 1 menawarkan posisi dimana gue bisa banyak belajar, namun dengan beban tanggung jawab yang tidak sedikit. Baru dua minggu mengisi posisi baru di no. 1 ini, meskipun belum resmi, tapi gue sudah menikmati. Ini hal baru dan gue merasa wawasan perlahan tapi pasti terbuka. Kebanyakan menambah stress, but I enjoy every single process.   

Nomor 2, sesuatu yang banyak terbukti berprospek bagus, masih misterius buat gue, tapi menggugah. Menggugah bahkan sejak gue belum punya nomor pokok mahasiswa. Gue relakan tidak ikut ini-itu, gue minimalisir semuanya demi no. 2. Amat bertolak belakang dengan sifat gue yang senang mencoba. Tahan, untuk no. 2, itu yang gue lakukan 1 tahun ini.   
Sekarang, saat no. 2 yang lama dinantikan datang, gue terdiam sesaat. Gue diminta memilih, karena no. 2  yang katanya teramat menguras tenaga dan waktu. Hening. Kenapa tiba" beku begini? Blank, begitu tidak berkutiknya gue dihadapan kedua kandidat. Gue sayang no. 1, semangat dan siap menyambut no. 2, tapi takut aji mumpung, takut kehilangan dua-duanya, logika pun menolak mentah". Mulai tercetus, siapa si no. 2 ini, lancang betul bikin hidup gue ketar-ketir. Gue benci memilih. Pikiran dan air mata puas terkuras 2 hari ini. Gue bingung. Bingung maksimal.
Gue telepon Ibu, nangis tanpa suara, cerita semua kegalauan, dan beliau berkomentar, "Kayaknya kamu udah tau jawabannya". Masih abstrak, tapi mulai terasa sedikit pencerahan setelah berbincang dengan wanita terhebat yang pernah gue kenal itu. Beberapa opsi tercetus dalam benak, berikut dengan segala konsekuensi pahit-manisnya.

Tiga hal yang gue yakini disini. Pertama, gue bukan seorang aji mumpung, tapi gue yakin masih bisa menjalani keduanya dengan porsi yang sedikit diubah. Kedua, gue tidak akan mengikuti sesuatu yang sejak awal gue yakini akan berhenti ditengah jalan. Ketiga, sekali lagi, selama ini gue merelakan dan menahan semuanya demi no. 2, tapi terbersit pula rasa takut tidak sanggup menuntaskan no. 2.

Pikir lagi, pikir. Hati nurani mulai menunjuk satu jawaban. Kalimat keputusan mulai sedikit tersusun. Tapi ada yang hilang, ada yang kurang, jawaban ini belum final. Gue butuh diyakinkan, dalam bentuk apapun itu. Jadi gue ambil wudhu sekalian hapus air mata, gue salat isya. Ajaib, setelah salat, gue teringat langsung sama serangkaian kalimat indah milik seorang petualang, Mark Twain.

Twenty years from now, you will be more dissapointed by the things that you did not do than by the things you did do. So, throw off the bowlines. Sail away from the safe harbour. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover.

Setelah itu, bermunculan bak muntahan kalimat-kalimat serupa. Salah satunya pernah diucapkan teman SMA gue, saat dia gagal dalam sebuah tes yang amat menguras fisik-mental, "Gue nggak keterima, tapi gue nggak pernah nyesel memutuskan ikut ini, ini niat gue". Nurani bersorak telah mufakat dengan sang logika. Yang Maha Mendengar, terima kasih atas petunjuk-Mu. Gue cari beberapa ayat alquran, ngaji supaya semakin mantap hati ini. 

Gue, dengan niat, akan maju menyambut no. 2, bagaimanapun hasil akhirnya. Gue tidak akan meninggalkan no. 1, tapi akan mundur dari posisi yang gue jalani 2 minggu ini, memilih berkontribusi dalam porsi tanggung jawab yang lebih kecil. Insya Allah, gue yakin dengan begini bisa menjalani keduanya. Konsekuensi dipikirkan matang". Bagaimana seandainya gue menyerah ditengah dengan no. 2? Yang penting menyerah bukan sesuatu yang gue rencanakan sekarang. Buat apa gue buang" waktu ikut sesuatu kalau gue tau akan berhenti ditengah, betul?

No. 1, terima kasih atas kesempatan selama 2 minggu ini. Gue belajar banyak, sungguh. Maaf atas keputusan yang mungkin mengecewakan ini. Gue melakukan ini karena yakin no. 1 tetap akan menerima kontribusi dari seorang anggota biasa. Itu yang mendasari terbentuknya no. 1, bukan? Kontribusi mahasiswa kedokteran.

No. 2, Hey there, been expecting you. Bring it on.

Bismillahirrahmanirrahiim. Palu diketok. Ya Allah, bimbinglah hamba.            

No comments:

Post a Comment